Jerapah Albino Mendadak Populer Usai Videonya Tersebar tapi Nyatanya Hidupnya Terancam
Alhasil, tidak seperti hewan albino yang memiliki mata berwarna merah muda, kedua jerapah ini memiliki mata yang berwarna gelap.
TRIBUNSUMSEL.COM - Dengan tubuh yang begitu tinggi dan leher yang panjang, sulit untuk tidak terkagum-kagum oleh jerapah.
Apalagi ketika hewan ini berwarna putih dari kepala hingga kaki.
Tentu pemandangan tersebut sangat fenomenal.
Sebuah video yang direkam oleh penjaga hutan Hirola Conservation Program (HCP) di suaka margasatwa di Kenya menampikan dua jerapah, ibu dan anak, yang mengalami leusisme pada bulan Agustus lalu.
Dipublikasikan melalui situs HCP, kedua jerapah terlihat sama sekali tidak terganggu oleh keberadaan para penjaga hutan.
“Sang ibu terus berjalan kesana kemari dan memberi sinyal kepada bayinya untuk bersembunyi di belakang semak-semak, sebuah karakteristik dari kebanyakan ibu satwa di daerah liar untuk mencegah anaknya diterkam,” tulis mereka.
Berbeda dengan albinisme yang merupakan mutasi genetik sehingga tubuh tidak memproduksi pigmen, leusisme hanya menghambat sel kulit dari memproduksi pigmen dan memperbolehkan organ lainnya memproses.
Alhasil, tidak seperti hewan albino yang memiliki mata berwarna merah muda, kedua jerapah ini memiliki mata yang berwarna gelap.
Meskipun langka, ini bukan kasus leusisme pertama di dunia hewan.
Sebagai contoh, jerapah terakhir dengan leusisme terlihat pada awal tahun lalu di Taman Nasional Tarangire, Tanzania.
Akan tetapi, popularitas dari kedua jerapah ini membuat banyak orang khawatir.
Para penonton video berkomentar bahwa menyebarkan foto dan lokasi kedua hewan tersebut membuat mereka jadi sasaran pemburu liar.
Kekhawatiran tersebut bukan tanpa alasan.
Yayasan Konservasi Jerapah melaporkan, walaupun leusisme seharusnya tidak menganggu keselamatan mereka, tetapi warna yang mencolok tersebut membuat jerapah dengan leusisme lebih mudah jadi sasaran predator.
Bahkan, lebih dari setengah jerapah dengan leusisme tidak melewati usia enam bulan.
Miris Nasib Orang Albino di Negara Ini, Mereka Tidak Bisa Hidup Tenang Karena Diburu dan Dimakan
TRIBUNSUMSEL.COM - Orang-orang dengan albinisme menghadapi prasangka dan ancaman kematian di Tanzania. Sejumlah kampanye kini dilakukan untuk mengakhirinya.
Wartawan BBC Africa Salim Kikeke bertemu dengan beberapa di antara mereka.
Mtobi Namigambo, adalah seorang nelayan di Pulau Ukerewe. Dia memiliki anak albino berusia empat tahun bernama May Mosi.
Pada usia tiga bulan, May lolos dari upaya penculikan. "Saya pergi untuk menangkap ikan. Istri dan anak-anak saya berada di rumah ketika sejumlah orang menyerang," kata Namigambo.
"Istri saya melompat dari jendela dan berlari bersama May, meninggalkan dua anak yang lain di rumah, yang tidak dilukai sedikit pun."
"Para penyerang ingin mengambil May," kata istri Namigambo, "Suami saya pergi memancing dan mereka tahu tentang hal itu. Itu sebabnya mereka datang untuk mengambil anak saya."
Supaya kaya
Orang albino, yang tidak memiliki pigmen warna kulit dan tampak pucat, dibunuh karena ramuan yang dibuat dari organ tubuh mereka dipercaya bisa membawa keberuntungan dan kekayaan.
Lebih dari 70 albino telah dibunuh dalam tiga tahun terakhir di Tanzania, namun hanya 10 kasus yang dihukum, kata pengkampanye Under the Same Sun.

Kasus terbaru terjadi pada Mei lalu, ketika seorang perempuan dicincang hingga tewas.
"Kami dibunuh seperti hewan. Tolong berdoalah untuk kami," kata seorang perempuan albino dalam sebuah nyanyian di acara perjuangan hak-hak albino.
Pemerintah Tanzania telah meluncurkan kampanye untuk membantu membujuk komunitas untuk menghapus kepercayaan kuno dan menghentikan penyerangan terhadap orang albino.
Namun, kampanye itu fokus di wilayah urban, bukan di pedesaan yang justru lebih penting. Di pedesaan, ancaman terhadap orang albino malah jauh lebih besar.
Penguasa terlibat?
Perwakilan dari Komunitas Albino di wilayah pinggiran Sengerema, Mashaka Benedict, mengatakan kepada BBC bahkan orang berpendidikan masih percaya bahwa potongan tubuh albino bisa membawa kekayaan.
"Kalau itu benar, kenapa kami tidak kaya?" tanya Mashaka.
Dia menuduh bahwa oknum penguasa terlibat dalam "pembunuhan bermotif bisnis" itu. Inilah yang menjelaskan mengapa hanya sedikit orang yang ditangkap, dihukum, atau dipenjara.
"Bagaimana bisa orang miskin menawarkan US$10.000 untuk bagian tubuh? Ini adalah pengusaha dan politisi yang terlibat."
Polisi mengatakan mereka mencoba yang terbaik untuk menyelidiki kasus-kasus itu. (BBC)