Begini Perilaku Wartawan 'Bodrek' di Ogan Ilir yang Bertindak Seperti Garong, Bikin Ngelus Dada
Untuk rejeki di lapangan, lanjut pria dipanggil Rahman ini, juga disesuaikan dengan momen atau acara yang dihelat.
Penulis: Agung Dwipayana | Editor: Hartati
Laporan Wartawan TribunSumsel.com, Agung Dwipayana
TRIBUNSUMSEL.COM, INDRALAYA - Reputasi wartawan di Kabupaten Ogan Ilir (OI) tercoreng oleh sebagian oknum wartawan abal-abal yang mengaku berasal dari media tertentu.
Mereka lantas meminta uang hasil wawancara kepada narasumber.
Keresahan terhadap beredarnya wartawan 'bodrek' dikeluhkan sejumlah pihak.
Seperti pejabat maupun pegawai di instansi pemerintahan.
Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) OI, Ahmad Lutfi, S.Sos, mengaku hingga saat ini dirinya tidak pernah mengundang wartawan untuk seluruh kegiatan Disdukcapil.
"Kita sekarang sedang gencar sosialisasi perekaman KTP Elektronik (E-KTP), tapi tidak melibatkan media karena lebih banyak mudaratnya," ujar Lutfi kepada TribunSumsel.com, Jum'at (28/7/2017).
Menurut Lutfi, Disdukcapil terpaksa mengambil sikap tersebut karena terlalu banyak dana yang harus dikeluarkan untuk 'uang bensin' wartawan.
Belum lagi, kata Lutfi, terkadang ada sebagian wartawan yang meminta uang secara terang-terangan, bahkan dengan memaksa.
"Kalau sudah dipalak begitu, malas saya. Memang tidak semua wartawan begitu, tapi saya pikir tidak usah libatkan wartawan kalau ada kegiatan kami, pilih-pilih juga saya," ucapnya.
Anggota Komisi II DPRD OI Bidang Ekonomi dan Pembangunan, Yusran Rifai, SE juga mengungkapan keresahannya terhadap wartawan yang kerap meminta uang dengan paksa.
Bahkan menurut Yusran, sebagian besar wartawan di OI hanya mengutamakan materi dibanding profesionalisme sebagai pemburu berita.
"Misalnya waktu ada rapat komisi atau rapat paripurna, para wartawan itu berkumpul. Kalau rapat selesai, ada yang minta uang dengan isyarat dan juga terang-terangan," kata Yusran.
Yusran mengaku hal ini sudah lumrah terjadi.
Namun menurutnya, wartawan abal-abal yang sering minta uang.
Tidak merasa malu dan terus melakukan hal yang sama begitu ada kesempatan.
"Mereka itu mainnya uang receh, dikasih 50 ribu langsung senyum-senyum dan pergi," terang anggota DPRD Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini.
Tidak hanya pejabat pemerintahan, Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) OI juga merasakan tidak aman oleh perilaku 'garong' wartawan yang suka meminta-minta.
Zuhda, seorang PNS di Badan Kepegawaian dan Diklat Daerah (BKD) OI, dirinya mengungkapkan, keberadaan wartawan yang tidak jelas identitasnya serta suka memalak narasumber, sudah menjadi pemandangan biasa.
Menurut Zuhda, sulit menemukan wartawan yang bekerja tanpa pamrih.
Sampai-sampai jika ada wartawan datang ke kantor BKD, Zuhda dan rekan sesama PNS diperintahkan untuk tidak melayani dan bahkan menjauhi dari wartawan bersangkutan.
"Banyak wartawan yang selalu dan pasti minta uang dengan cuma-cuma. Apalagi pas mau Lebaran, mereka rela menunggu berjam-jam di depan pintu ruangan pimpinan atau kepala dinas biar dikasih uang," beber Zuhda.
Akibat reputasi wartawan di Kabupaten OI yang tidak baik ini, wartawan TribunSumsel.com pun sempat mengalami hal tidak menyenangkan ketika akan mewawancarai narasumber di sejumlah instansi.
Ceritanya, beberapa hari lalu, TribunSumsel.com bermaksud mewawancarai seorang guru SMA mengenai pungutan liar (pungli) pada sertifikasi guru.
Saat itu berita tersebut cukup panas di Provinsi Sumsel karena dua orang staf Dinas Pendidikan (Disdik) Sumsel ditetapkan sebagai tersangka dan Kadisdik Sumsel, Drs. Widodo belakangan diperiksa sebagai saksi oleh Polda Sumsel terkait kasus tersebut.
Karena begitu merebaknya dugaan pungli ini, TribunSumsel.com berusaha mewawancarai PNS yang kemungkinan mengalami pungli saat pencairan dana sertifikasi.
Adalah Irma Yuleni, Wakil Kepala SMA Unggulan Indralaya yang menjadi calon narasumber karena direkomendasikan oleh seorang mitra TribunSumsel.com.
Ketika mitra ini menghubungi Irma, lalu menjelaskan maksud dan tujuan untuk wawancara, suara Irma yang semula pelan, seketika menjadi tinggi begitu diberitahu akan diwawancarai.
"Tidak mau! Saya tidak mau berurusan dengan wartawan karena pasti dapat masalah," begitu suara Irma terdengar lewat sambungan telepon yang dikeraskan suaranya ketika dihubungi mitra TribunSumsel.com ini.
"Sampaikan pada wartawan itu, saya tidak mau diwawancarai karena saya pernah dikerjai wartawan. Pokoknya saya tidak mau," kata Irma lagi.
Mendengar jawaban Irma yang sangat jelas tersebut, TribunSumsel.com terpaksa mengurungkan niat wawancara.
Ketika mencari calon narasumber dari oknum PNS lainnya, banyak yang menolak baik dengan cara halus maupun terang-terangan.
Terbaru, wartawan TribunSumsel.com bertandang ke kampus Universitas Sriwijaya (Unsri) di kota Indralaya.
Maksud kedatangan ini untuk meminta informasi seputar ospek mahasiswa baru tahun ajaran 2017/2018.
Dengan berpakaian ala mahasiswa, wartawan TribunSumsel.com diterima dengan baik oleh seorang staf Humas Unsri.
Namun begitu memperkenalkan diri dan menjelaskan identitas, staf tersebut wajahnya langsung berubah dan buru-buru meninggalkan wartawan TribunSumsel.com.
"Oh, Humas sedang ke luar kota. Coba Bapak wawancara Kepala Biro Humas saja, beliau ada di tempat" kata staf tersebut sambil memalingkan wajah.
Begitu mendatangi ruang Biro Humas dan memperkenalkan diri, seorang staf di Biro Humas langsung memotong perkataan wartawan dan mengatakan jika Biro Humas juga sedang berada di luar kota.
"Tidak ada, sedang ke Yogyakarta," kata staf tersebut sambil berlalu.
Dua cerita di atas merupakan beberapa pengalaman yang menyesakkan dada bagi wartawan TribunSumsel.com yang baru dua bulan bertugas di Bumi Caram Seguguk ini.
J, seorang wartawan media lokal mingguan di Indralaya mengungkapkan secara terang-terangan bahwa faktor gaji yang tidak cukup, menjadi alasan sebagian besar wartawan menjadi 'lapar' saat ada kesempatan wawancara.
"Karena kalau tidak dapat rejeki di luar, mana bisa hidup dnegan gaji wartawan yang pas-pasan begini," ujar wartawan yang mengaku mendapat gaji tidak lebih dari 1,5 juta perbulan ini.
J bahkan memasang target pendapatan perbulan dari hasil memeras narasumber.
"Kalau bisa setiap hari itu minimal kita dapat cepek (100 ribu). Kalau tidak begitu, tidak hidup. Lagipula tidak selamanya kita menjadi wartawan, makanya harus dimanfaatkan," ungkapnya.
Menurut Kabag Humas dan Protokol Pemda OI, Abdurrahman, sebenarnya dana bagi media memang disediakan, namun disesuaikan dengan keuangan daerah dan asas timbal balik atau kesepakatan antara pihak Pemda dan media bersangkutan.
"Dana itu kita alokasikan misalnya untuk iklan, banner, advertorial, dan sebagainya. Itu semua ada Memorandum of Understanding (MoU) atau kesepakatan. Tidak ada unsur paksaan," jelas Abdurrahman.
Untuk rejeki di lapangan, lanjut pria dipanggil Rahman ini, juga disesuaikan dengan momen atau acara yang dihelat.
"Misalnya beberapa waktu lalu, Bupati melakukan kunjungan kerja (kunker) ke daerah pedalaman untuk meninjau jalan rusak. Bagi petugas keamanan, wartawan, itu kita kasih uang bensin dan jatah makan. Tidak mungkin kita biarkan saja karena itu perjalanan jauh sekali, kalau jatah untuk wartawan pokoknya disesuaikan," tegas Abdurrahman.