Ada Desa tak Punya Generasi, Masyarakat Malinau Setuju Stop Program KB
BERUTANG, itu cara Sapto mendapatkan dana untuk melamar Ani. Sapto bekerja sebagai nakhoda kapal kecil pengangkut barang dari Malinau ke Tarakan.
TRIBUNSUMSEL.COM - BERFIKIR membangun keluarga tidak terlintas di benak Sapto Edy Santoso.
Namun, saat memasuki usia 24 tahun, Sapto memberanikan diri melamar gadis pujaannya Ani Risnawati yang saat itu berumur 19 tahun. Sekarang, tahun ke-11 pernikahannya, pasangan ini telah memiliki 4 anak.
BERUTANG, itu cara Sapto mendapatkan dana untuk melamar Ani. Sapto bekerja sebagai nakhoda kapal kecil pengangkut barang dari Malinau ke Tarakan.
Saat baru menikah, tahun 2005 lalu, pria berbadan kekar ini hanya menerima upah Rp 300 ribu perbulan. Kemudian, sebagai tambahan, Sapto menerima dana bagi hasil barang Rp 900 ribu.
"Jadi upah saya perbulan itu, kalau ditotal Rp 1,2 juta. Lalu, saat itu saya harus menanggung keluarga baru saya. Belum lagi membayar utang kepada Bos saat saya menikah. Waktu nikah dulu, saya utang," ujar Sapto.
Meskipun keinginan memiliki anak pada tahun pertama pernikahannya, Sapto baru dikaruniai anak pada tahun ke-2.
Bertambahlah beban Sapto, ketika anak pertamanya lahir. Padahal utang belum lunas. Meski demikian, Sapto tetap yakin setiap anak akan bawa rejeki sendiri.
"Menikah itu membuka pintu rejeki. Apalagi, kalau kita punya anak, terbukalah pintu rejeki itu. Itu sudah janji Allah SWT kepada hambanya. Dan itu yang saya yakini. Jadi saya tidak takut untuk kelaparan, dan pasti mampu menghidupi keluarga kecil saya," ujarnya sambil menjaga anak-anaknya bermain.
Untuk menambah pendapatan, Sapto juga bekerja sebagai penjual BBM milik keluarga. Akan tetapi, pendapatan perbulannya juga masih jauh dari cukup.
Itulah mengapa, saat awal pernikahana, ia masih menumpang dengan orangtua.
"Bukan bermaksud mengeluh, tapi itulah keadaan nyata yang saya alami. Sekarang terbukti, saya sudah memiliki 4 orang anak. Istri saya tidak saya perkenankan menggunakan alat KB. Selama masih sanggup, kita akan membuat keturunan," ujar lelaki yang baru saja memiliki anak lagi berumur 4 bulan ini.
Penggunaan alat KB menurut Sapto bertentangan dengan ajaran agama. Dia menjauhi pemakaian alat KB.
Selain itu, ia juga mendengar, banyak alat KB yang justru membahayakan kondisi tubuh perempuan.
"Itu juga yang saya takutkan. Saya dengar, alat KB itu juga terkadang tidak aman. Alat KB bisa memengaruhi kesuburan istri."
"Takut juga saya, kalau pas pakai alat KB, istri saya tidak bisa hamil lagi. Apalagi, kalau kita melihat, banyak orang menginginkan punya anak. Tapi kita yang bisa memiliki anak malah membatasi kelahiran," tegasnya.
Mengatahui ada beberapa desa di pedalaman dan perbatasan Malinau yang tidak ada generasinya, Sapto mengaku sangat miris mendengarnya.
Hal ini dikatakan sungguh sangat disayangkan, karena ini berimbas pada penerus desa, kebudayaan dan ilmu pengetahuannya.
"Tentu saya sangat mendukung program Bupati Malinau yang menghentikan program KB. Kalau di Malinau ini sedikit generasinya, siapa yang meneruskan budaya, adat istiadat masyarakat asli Malinau. kan tidak mungkin orang luar Malinau," paparnya.
Senada, Windu Hartati, istri dari Joko Mulyanto, yang memiliki anak kembar. Ia tidak setuju dengan program KB di Malinau. Meskipun, kelahiran anak kembarnya ia harus menjalani operasi caesar.
"Tiga anak saya sekarang, 1 perempuan, dua laki-laki kembar. Masih ada keinginan saya menambah anak. Banyak anak banyak rejeki, kata orangtua dulu," ujarnya.
Apalagi kata Windu, saat ini Pemkab Malinau memiliki program bagus untuk keluarga. Hal ini menjadikannya tidak lagi khawatir dengan pendidikan anaknya kelak.
Terutama, suaminya yang juga berstatus pegawai. "Ada wajib belajar 14 tahun. Jadi, kalau anak kembar saya sudah cukup umur akan langsung masukan ke TK. Kalau anak pertama saya sudah TK sekarang," tegasnya.
Windu menjelaskan, keluarga tidak mampu saja masih memberanikan diri untuk menambah keturunannya, mengapa dirinya yang cukup mampu tidak memiliki banyak keturunan. (m purnomo susanto)