Pilgub Sumsel
MK Mesti Perhatikan Psikologis Masyarakat Sumsel
Jika MK masih berlarut-larut dalam memutuskan artinya tak ada lagi demokrasi di negeri ini.
Penulis: Arief Basuki Rohekan |
TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG - Kalangan pengamat menilai pelaksanaan Pilkada Sumsel khususnya Pemungutan Suara Ulang (PSU) menilai beragam, meski begitu para pengamat menilai majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) mesti mengambil putusan segera tanpa berlarut-larut dengan memerhatikan faktor psikologis, yang timbul di masyarakat Sumsel, dalam memutuskan hasil sengketa Pilkada Sumsel.
Pengamat Politik, Universitas Sriwijaya (Unsri), Zulkarnain Sulaiman, menyebutkan, berkaca dari tingkat partisipasi masyarakat, pada pelaksanaan pemungutan suara ulang (PSU) Pilkada Sumsel, 4 September silam, sebesar 61,92 persen, menunjukkan terjadi kejenuhan di masyarakat pemilih Sumsel, untuk menggunakan lagi hak pilihnya pada pilkada ulang di sebagian wilayah Sumsel itu.
Sehingga, Zulkarnain menilai, jika pasca PSU di Sumsel ini, MK masih berlarut-larut dalam menentukan hasil Pilkada gubernur dan wakil gubernur Sumsel periode 2013-2018, sehingga kian menimbulkan ketidakpastian hukum, mengenai pasangan kandidat yang akan memimpin provinsi ini lima tahun kedepan, artinya MK telah berperan dalam menciptakan anomali terhadap proses demokrasi di negeri ini, khususnya Sumsel.
"Jika MK masih berlarut-larut dalam memutuskan, siapa pasangan cagub-cawagub Sumsel terpilih periode 2013-2018 artinya tak ada lagi demokrasi di negeri ini. MK mesti perhatikan faktor psikologis masyarakat Sumsel, yang mulai jenuh dan menginginkan kepastian hukum tentang pemimpin mereka," kata Zulkarnain Sulaiman, Kamis (12/8/2013).
Sementara pengamat politik dari Unsri lainnya, Adryan Saftawan menilai proses rakapitulasi yang dilakukan KPU Sumsel beberapa waktu lalu salah dengan menggabungkan perolehan suara PSU dengan non PSU.
"Kita lihat dari keputusan MK yang diperintahkan ke KPU Sumsel ada 4 hal, yaitu, membatalkan keputusan KPU soal hasil rekapitulasi perolehan suara, kemudian membatalkan pasangan terpilih. Lalu memerintahkan KPU Sumsel dan KPU RI serta Bawaslu RI dan Sumsel untuk melaksanakan PSU segera, serta elaporkannya ke MK dalam kurun waktu 90 hari,"terangnya.
Dengan apa yang dilakukan KPU Sumsel dengan menggabungkan hasil rekap perolehan suara PSU pada 4 September dengan non PSU pada 6 Juni lalu.
"Jadi segoyanya KPU hanya melaporkan PSU tadi, hasil itu diberikan ke MK perintahnya. Tidak ada perintah MK menggabungkan dengan non PSU, karena non psu itu sudah dibatalkan, mengenai apakah masih sah atau tidak itu setelah laporan masuk, karena ini keputusan sela MK, persidangan MK masih berjalan sambil menunggu ini setelah diperiksa maka akan ada keputusan final,"capnya.
Ditambahkan Adryan, memang KPU nanti yang akan tetap mengeksekusi setelah adanya keputusan MK, "MK nanti mengumumkan , memutuskan jumlah yang diperoleh masing-masing kandidat, nanti hasilnya ditindaklanjuti KPU Sumsel siapa pemenang pilkada sumsel 2013,"lanjutnya.
Terkait adanya koordinasi KPU Sumsel dengan MK dan KPU RI sebelumnya, Adryan menerangkan di negara hukum, suatu persepsi tidak bisa digunakan oleh penyelenggara, karena semuanya harus diatas hitam putih.
"Karena ini masih di MK maka merupakan kewenangan MK, jadi kalau itu dijadikan dasar hukum terus gunanya untuk apa sekarang. KPU memang belum memutuskan hanya pengumuman, tapi takutnya pengumuman ini menyesatkan masyarakat dengan persepsi yang berbeda, itu masalahnya karena dia belum menentukan pemenang tetapi pandangan masyarakat sudah ditentukan, ini kita khawatirkan masyarakat tersesat dengan persepsi tersebut dikarenakan tata cara penyelenggaraan yang tidak sesuai dengan aturan yang ditentukan,"bebernya.
Maka dari itu Adryan menambahkkan, seharusnya KPU pada saat itu hanya melakukan pengumuman hasil dari PSU saja bukan semuanya.
"Pertanyaan masyarakat apakah hasil non PSU kemarin batal atau tidak, itu bukan hak KPU. Kasus di Jatim memang ada PSU tapi kasus penyebabnya berbeda, oleh karena itu untuk masalah hukum ini, kita menggunakan tidak saja logika tapi prinsip-prinsip hukum tidak boleh ditentang, sehingga masyarakat tidak bingung, bagaimanapun juga keputusan terakhir ada di MK,"jelasnya.
"Naif sekali jika angka ini sudah angka final, karena yang menyatakan final itu MK bukanya KPU, kalau kemungkinan PSU ulang tidak mungkin, karena ini yuridisnya MK. Maka MK melihat jika seandainya laporan ini ada kesalahan atau ada pelanggaran suatu hal maka MK lah yang akan membersihkannya itu dengan diperiksa, karena ini masih diperiksa MK yang akan menyelesaikan dan warga harus menunggu keputusan MK karena itu bersifat final dan mengikat, KPU Sumsel hanya melaksanakan apa yang telah diputuskan MK itu," tambahnya.