Siswa SMA Taruna Indonesia Tewas

Rp 22 Juta Uang Masuk SMA Taruna Indonesia, Semi Militer Tapi Tak Ada yang Diterima Akmil/Akpol

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indoensia (KPAI), Retno Listyarti mendesak agar Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Selatan dapat melakukan evaluas

Editor: Prawira Maulana
Sripo/rahma
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indoensia, Retno Listyarti 

Laporan wartawan Sripoku.com, Rahmaliyah

TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG - Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indoensia (KPAI), Retno Listyarti mendesak agar Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Selatan dapat melakukan evaluasi menyeluruh SMA Taruna Indonesia, baik dari program, manajemen keuangan, fasilitas dan lain sebagainya.

Menurutnya, dari hasil pemantauan KPAI secara umum sebagai sekolah berasrama pengawasan dinilai kurang oleh Dinas Pendidikan, terlebih dari sisi fasilitas tidak memadai padahal biaya untuk masuk ke sekolah ini tidaklah murah.

"Dari orang tua yang saya wawancarai, biaya masuk saja Rp 22 juta. Perbulan Rp 1,5 juta dan untuk biaya semester Rp 3 juta. Ini adalah hal yang cukup mahal. Kondisi sekolah juga tidak laik kelas tanpa jendela sehingga pencahayaan kurang," jelasnya, Rabu (17/9/2019).

Dirinya juga meminta data ke pihak sekolah berapa banyak lulusan yang diterima pada akademi militer tahun lalu, hasilnya tidak ada yang masuk dalam akademi militer, apakah akademi kepolisian atau lainnya.

"Tahun lalu itu saja hanya Secaba. Jadi tidak ada yang masuk ke akademi militer jika dilihat dari data tahun lalu. Dengan branding semi militer yang dijual untuk persiapan untuk masuk akademi militer atau polisi. Hal seperti ini yang kemudian harusnya bisa menjadi evaluasi Dinas Pendidikan, sejauh mereka melakukan pengawasan sekolah sejenis ini," ujarnya.

Retno menuturkan, pihaknya sempat bertemu dengan orang tua yang diduga juga menjadi korban dari dugaan tindak kekerasan selama Masa Orientasi Sekolah (MOS) disekolah yang sama.

Dimana Wiko (14) tahun saat ini dalam kondisi koma pasca dilakukan tindakan operasi terkait gangguan usus terlilit.

"Saya juga masih berupaya untuk mencari cerita lengkapnya, namun karena orang tua terutama ibunya masih shock dan menangis terus jadi cukup sulit. Apalagi korban masih dalam kondisi koma. Tapi ibu korban sempat merekam cerita anaknya saat masih sadar pasca kejadian. Saya harap ini adalah kejadian terakhir," jelasnya.

Retno juga mempertanyakan, kenapa longmarch dilakukan diluar dari rundown acara, sebab berdasarkan hasil penutupan acara saja pada Sabtu (13/7/2019) pagi.

"Kalau ini diluar prosedur kenapa bisa dilakukan. Saya juga tidak mengacu pada tersangka saja karena dia orang baru, hanya saja kebetulan peristiwa ini mengakibatkan ada yang meninggal bisa saja sudah dilakukan lama terjadi. Saya juga tidak yakin korban menjadi seperti ini tiba-tiba. Kita masih tunggu hasil otopsi dan juga perhatian terhadap korban yang masih koma," jelasnya.

Lanjutnya, KPAI akan terus mengawal kasus ini hingga Kemendikbud, Dinas Pendidikan Provinsi Sumsel dan Juga Pemerintah Daerah. "Intinya pada pengawasannya seperti apa. Kebetulan izin sekolah akan habis di Oktober ini maka bisa jadi momen yang tepat untuk evaluasi, apakah diperpanjang atau dicabut," ujarnya.

Nantinya, terkait persoalan siswa didik yang berada dikelas X dan XI yang sudah menjalani pendidikan akan diserahkan tindak lanjutnya kepada Dinas Pendidikan.

KPAI juga akan mendorong agar dilakukan pendampingan psikologis pada orang tua korban yang telah meninggal dan yang saat ini koma.

Obi Frisman (24 tahun), tersangka penganiayaan terhadap Delwyn hingga tewas ternyata baru menyelesaikan pendidikannya tahun 2019 ini.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved